Search This Blog

Proyeksi Kedangkalan Ilmu ; Mudah Menyalahkan


Apa sih ilmu? 

Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. [1]

Ketika Allah menciptakan Nabi Adam AS malaikat awal mulanya protes. Kenapa Allah menciptakan seorang khalifah di permukaan bumi yang mana akan menumpahkan darah, saling bermusuhan satu sama lain, sedangkan mereka (re: malaikat) selalu bertasbih menyucikan Allah SWT di Arsy, tidak henti-hentinya menggetarkan Arsy dengan lantunan tasbih.

Sungguh protes mereka pada awalnya itu adalah karena ketidaktahuan, dan sungguh Allah Maha Tahu akan segala sesuatu. Seperti diabadikan dalam firman Allah swt.

      Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. "Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? "Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30) 

Kenapa sih mereka protes? Karena awalnya mereka tidak tahu. Karena mereka tidaklah berilmu dibandingkan Allah swt. Karena Allah yang Maha Berilmu, yang dapat memberikan ilmu kepada makhluk yang Ia kehendaki.


”Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (QS. al-Baqarah [2]: 31-32).

Nah di sanalah ada satu keutamaan Adam yaitu ia dapat menyebutkan nama-nama benda yang Allah hadapkan. Sedangkan malaikat tidak memiliki pengetahuan sehingga tidak dapat menyebutkan nama-nama benda itu. Di sanalah posisi yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Orang yang banyak ilmunya cenderung tidak mudah menyalahkan, tidak merasa paling benar, tidak menjadi patokan kebenaran sejati. Sedangkan orang yang sedikit ilmunya pasti banyak menyalahkan, banyak protesnya!!!


Sedikit Ilmu Banyak Menyalahkan, Banyak Ngambeknya!!!

Nah, di sinilah pepatah Arab mengatakan.

Man Qolla 'Ilmuhu Katsuro Inkaaruhu. (Siapa yang sedikit ilmunya pasti banyak ngambeknya !!!).

Apa sih ngambek?

Ya, ngambek itu protes, suka menyalahkan orang dengan mudah tanpa diselidikinya dengan benar. Sedikit-sedikit bilang ini salah, itu salah, ini haram, itu bid'ah, ini syirik, itu kafir. Nah, begitulah kelakuan orang yang sedikit ilmunya!!!

Kenapa sih begitu mudah menyalahkan orang yang berbeda dengannya? Seolah-olah hanya dirinyalah yang paling sesuai dengan kebenaran. Dirinyalah yang paling benar, paling suci, paling sesuai dengan Al-Qur'an dan As-sunnah. Dikit-dikit bid'ah dikit-dikit bid'ah. Karena sedikit ilmunya ia sedikit bingungnya, sedikit bingungnya banyak protesnya! Karena dangkal ilmunya banyak menyalahkan, banyak ngambeknya! Hanya karena ia tidak mendapati hadits yang shahih mengenai Qunut lalu dengan pongah berkata, Qunut tidak dicontohkan Nabi, tidak ada hadits shahih yang memerintahkan Qunut! Lalu ia marah-marah, ngambek, mencela orang yang berbeda dengannya. Seakan-akan ia yang paling sesuai As-Sunnah, seolah-olah ia paling mengerti dalil, seolah-olah ia lebih tahu daripada Imam Syafi'i dan bahkan ngambek dengan Imam Syafi'i dianggap Imam yang paling Bid'ah. Astaghfirullah!

Sedangkan orang yang banyak ilmunya cenderung lebih bijak, lebih kalem, lebih santai, lebih permisif. Maka ia tidak gampang menyalahkan, ia tidak gampang ngomong seenak udelnya sendiri, seolah-olah ia adalah galaksi kebenaran pusat kebenaran mutlak. Tidak! Tidak kekanak-kanakan seperti itu! Sikap orang yang berilmulah yang dicontohkan oleh para ulama madzhab. Di mana empat Imam Madzhab (re: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hambali) mereka meski berbeda pendapat tidak saling menyalahkan, tidak saling membid'ahkan, mereka tahu dan sadar karena masing-masing mereka  tidaklah sepenuhnya benar, tidaklah juga sepenuhnya salah. 

Mereka berusaha dengan penuh tenaga mendapati dan menggali dan menarik kesimpulan hukum agar sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits. Mereka menggali dalil secara terperinci, metode-metode yang jelas, hafal ratusan ribu bahkan sampai jutaan hadits, tidak seperti anak kemaren sore yang baru puber religi,  asal ketemu satu hadits langsung berfatwa bid'ah, haram, syirik padahal ngajinya cuma sabtu minggu. Contohlah para Imam Madzhab yang saling menghormati antarsesama meski berbeda pendapat! Perbedaan mereka justru malah membuat mereka tidak saling bertengkar dan malah saling menghargai. Mereka paham bahwa perbedaan yang ada ketika itu muncul menjadi sebuah rahmat bagi umat. Mereka bisa saling jaga diri dan sikap untuk saling berlapang dada dalam setiap perbedaan. Dan tidak pernah mencari-cari siapa yang benar!

Murid Imam Abu Hanifah Belajar ke Imam Malik

Murid-muridnya Imam Abu Hanifah dari Iraq, ketika mereka berhaji atau umrah, pasti mereka menyempatkan diri untuk duduk di masjid Nabawi mendengarkan pelajaran fiqih dari Imam Malik. Dan mendiskusikan apa yang mereka bawa dari fiqih Iraq kepada beliau (Imam Malik), dan semua menerima.
Memang terjadi perbedaan pendapat dalam diskusi tersebut, akan tetapi kedua belah pihak menerima itu semua sebagai khazanah keilmuan Islam yang mahal harganya. sehingga tak sampai hati mengatakan bahwa kebenaran hanya ada di pihaknya sendiri.

Imam Malik Menolak Memberatkan Umat

Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah Abbasiyah, sempat menawarkan Imam Malik untuk menjadikan kitabnya Al-Muwatho’ sebagai qanun (undang-undang) negara ketika itu, namun Imam Malik menolak. Beliau tidak ingin memberatkan umat hanya dengan satu madzhab saja. Kalau beliau mau, tentu itu mudah sekali. Hitung-hitung menyebarkan madzhabnya ke saentero kesultanan Abbasiah yang sangat besar ketika itu. Tapi dengan sangat tawadhu', Imam Malik menolak itu semua. Beliau lebih tenang jika para orang muslim mengamalkan apa yang sudah biasa mereka amalkan dari madzhab-madzhab fiqih yang ada. Dan sungguh sangat memberatkan pastinya nanti jika harus terpaksa mengikuti madzhab yang mereka baru kenal.

Imam Malik dan Imam Al-Laits bin Sa'd

Imam Malik, kalau mendapati di majelisnya ada salah seorang musafir dari Mesir, pasti sang Imam menitipkan salam lewatnya kepada Imam Al-Laits bin Sa’d, dan tidak jarang memberikannya hadiah walaupun hanya dengan sekantung kurma. Mereka saling mendoakan padahal Imam Al-Laits salah satu Imam yang paling santer menyelisih pendapat-pendapatnya Imam Malik lebih dari 70 masalah fiqih. Sebaliknya pun demikian, Imam Laits bin Sa’d, kalau berangkat haji atau umrah, pastilah beliau menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahnya Imam Malik dengan membawa buah tangan beserta segudang doa untuk kebaikan Imam Malik.

Pernah dalam suatu ketika, Imam Laits mengutus salah satu muridnya ke Hijaz untuk mengantarkan surat kepada Imam Malik yang isinya bantahan Imam Laits terhadap “Amal Ahli Madinahyang dijadikan dalil oleh Imam Malik di Hijaz. Tapi, di awal dan di akhir surat yang panjang itu, Imam laits menyertakan doa untuk Imam Malik. Yang menariknya lagi, di samping surat bantahan itu Imam Laits menyertakan satu kantong berisikan uang ribuan dinar untuk Imam Malik. Hebat bukan ? Berselisih tapi saling memberi hadiah yang akhirnya uang itu diberikan kepada Imam Al-Syafi’i (murid Imam Malik) sebagai mahar pernikahannya dan bekal beliau (Imam Syafi’i) berangkat ke Iraq.

Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Al-Syafi'i

Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, murid dan pembela madzhab Hanafi, tahu dan paham bahwa Imam Al-Syafi’i banyak menyelisih madzhabnya. Akan tetapi sesampainya Imam Syafi’i di Baghdad, beliaulah orang yang dengan tangan terbuka menyambut kedatangan Imam Syafi’i. Bukan hanya itu, beliau juga yang menampung Imam Syafi’i di rumahnya. Seluruh kebutuhan Imam Syafi’i yang ingin menuntut ilmu fiqih Al-Ra’yu difasilitasi oleh Imam Muhammad bin Hasan, dari mulai tempat tidur, makan dan juga kitab. Padahal mereka sering berselisih paham ketika berdiskusi, tapi masih bisa saling berbagi.

Dan kepergiannya ke Mesir untuk menuntut ilmu fiqih Al-Laitsi juga dibiayai oleh Imam Muhammad bin Hasan, kendaraan serta bekal perjalanannya. Karena itu banyak ulama yang menyebut Imam Muhammad bin Hasan itu sebagai “bapak”-nya Imam Syafi’i di Baghdad. Yang dilakukan Imam Syafi’i ketika di Hijaz pun tidak berbeda. Beliau duduk di masjid Nabawi mendengarkan Imam Malik, tapi beliau juga menyanggah dan menyelisih Imam Malik dalam beberapa masalah fiqih. Dan tidak ada kemarahan dari Imam Malik sedikitpun. Bahkan beliau mendoakannya agar menjadi ulama besar yang menerangi umat. Bahkan sampai jadi murid kesayangan Imam Malik.

Begitulah ulama mengajarkan kita bagaimana caranya bersikap. Walaupun saling berbeda, tidak ada dalam diri mereka keinginan untuk mengaku kebenaran sendiri dan menyalahkan yang lain. Semua baik-baik saja, sebaik ilmu yang mereka miliki. Mereka sering jadi 'lawan' diskusi, tetapi hubungan mereka tetap 'mesra'.

Bagaimana kita sekarang?

Saling caci? Mengatakan selain kita tidak benar? Memprovokasi yang lain untuk tidak mengikuti mereka? Atau kalau perlu memfitnah mereka dengan informasi negative agar pengikutnya menjauh? Atau berlapang dada sebagaimana ulama kita mengajarkan?    

Maka berilmu dulu baru berfatwa, ga punya ilmu? Ikuti orang yang berilmu yaitu para ulama. Karena ulama adalah ahli waris nabi. Kepada siapa jalan kita mengerti tentang ilmu selain kepada para ulama?

Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu kecuali para lelaki yang Kami wahyukan kepada mereka. Oleh sebab itu bertanyalah kepada ahli dzikir (ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

"Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS Az Zumar: 9)

Semoga Allah mempercepat kedewasaan mereka yang mudah menyalahkan orang lain, menambahkan ilmunya, memberi mereka jalan dan akses yang cepat dan mudah untuk belajar ilmu syariah. Agar mereka segera sadar kalau mereka masih butuh banyak belajar lagi ke depan.

Masak baru kenal sedikit-sedikit dengan karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim saja, sudah merasa jadi ulama terbesar yang merasa bisa menyalahkan siapa saja ?

[1] Wikipedia, "Ilmu".








Previous
Next Post »

Berkomentarlah dengan sopan. ConversionConversion EmoticonEmoticon