Search This Blog

Inilah Persamaan antara Cinta dan Benci

Banyak orang selalu mengatakan bahwa antara cinta dan benci itu jauh berbeda. Ibaratkan langit dan bumi, siang dan malam, bahkan surga dan neraka. Ahh.. Buat saya, itu pernyataan klise saja. Karena menurut saya cinta dan benci itu sama saja.
Saya adalah orang yang percaya bahwa (jatuh) cinta tidak butuh alasan. Sebab, jika memang cinta membutuhkan alasan, maka ketika alasan tersebut hilang, cinta tadi juga akan raib bersamanya. Saya ingat quote menarik di salah satu bab ‘Dunia Sophie’, buku filsafat yang terkenal itu, tentang proses terciptanya alam semesta: "Pada satu titik, semua berawal dari ketiadaan". Namun, jika Anda sepakat pada pandangan strukturalis yang mengatakan bahwa everything happens for a reason, silakan saja.

Saya menganalogikannya dengan orang yang hobi memancing. Kita tahu bahwa memancing bukan perkara mudah, bahkan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan ikan, malah bisa-bisa pergi pagi pulang pagi pun tak jua mendapatkan ikan walau seekor pun. Anehnya si tukang pancing tidak pernah kapok, tidak pernah ada alasan untuk pensiun dari memancing. Dia juga tidak bisa menjelaskan alasan kenapa ia tetap mencintai hobinya memancing yang jelas-jelas menyusahkan dirinya saja. Itulah cinta, tanpa alasan!
Begitu cinta, begitupula kebencian. Sebagai lawan dari cinta, kebencian selalu muncul sebagai ketidaksenangan seseorang akan sesuatu. Dan sama seperti cinta, kebencian juga kerap berawal dari satu titik yang kosong sama sekali. Biasanya muncul dalam diri sendiri, tak peduli apa yang dilakukan orang lain.
Saya pun mencoba lagi menganalogikan dengan sebuah cerita yang pernah disampaikan oleh dosen Statistika 1 saya, Dr. Indoyama Nasaruddin, MBA. ketika saya menginjakkan kaki di semester 2. Ia mengisahkan ada seorang Ibu yang bercerita kepadanya saat beliau memanggil ibu tersebut dan anaknya, ibunyapun berkata bahwa ia menguliahkan anaknya banting tulang sebagai penjaja gorengan keliling, susah payah kaki menjadi kepala, kepala menjadi kaki, dan setiap hari anaknya ia berikan ongkos untuk pergi ke kampus, juga dikreditkan motor. Bahkan anaknya pun selalu pulang hingga malam dan mengaku kuliah.
Ketika itu beliau dosen statistika saya tersebut yang merupakan dosen pembimbing anak tersebut mengatakan bahwa anaknya tidak mengikuti perkuliahan aktif, tidak mengisi KRS dan tidak memiliki KHS kecuali semsester 1, saat itu mestinya anak tersebut semester 6, artinya selama 5 semester tidak pernah mengikuti perkuliahan, hanya pergi membolos, dan akhirnya mengakui ketika ia dipanggil bersama ibunya tersebut. Ternyata ia menjelaskan bahwa selama itu, ia tidak pergi ke kampus melainkan pergi ke warnet saking cintanya dengan game, dan bencinya dengan pelajaran.
Ia pun akhirnya meminta maaf dan diberi kesempatan lagi. Tapi tidak beberapa lama penyakitnya kumat kembali. Bolosnya selalu ia gandrungi. Ya karena bencinya teramat dengan pelajaran yang memusingkan otaknya. Sikapnya muncul dalam dirinya sendiri, tak peduli apa yang dilakukan oleh orang lain termasuk Ibunya sendiri. Itulah benci.
Ya menurut saya itulah persamaan cinta dan benci, sama-sama tanpa alasan.
Previous
Next Post »

Berkomentarlah dengan sopan. ConversionConversion EmoticonEmoticon