Dalam sebuah pertandingan olahraga,
tentunya ada pemenang dan juga ada pihak yang kalah. Dalam pertandingan
tersebut yang dijunjung tinggi adalah sebuah profesionalitas pada
pihak-pihak yang bermain. Hal ini dikarenakan
tentunya ada saja bumbu-bumbu dalam sebuah pertandingan, entah ada pihak yang
salah baik secara sengaja maupun tidak sengaja, berbuat curang, berbuat kasar kepada pihak lawan. Hal ini berakibat pada
hukuman yang diberikan dari seorang pengadil di arena pertandingan.
Misalnya saja kita ambil contoh ialah
pertandingan sepakbola, yang mana sering terjadinya pelanggaran yang berakibat
hukuman pelanggaran. Di mana pesepakbola yang kedapatan melakukan pelanggaran
akan dihukum sesuai tingkat pelanggaran yang ia lakukan. Pelanggaran ringan
mungkin hanya akan berakibat mendapat teguran dari wasit, adapun pelanggaran
sedang tentu akan diganjar kartu kuning, sedangkan pelanggaran berat akan
mengakibatkan wasit menghadiahi kartu merah kepada pesepakbola. Bahkan perihal
kartu merah sudah mafhum terjadi pada Tim Nasional Sepakbola Indonesia U-22 di
ajang Sea GAMES 2017 lalu, di mana tim asuhan Luis Milla mendapat hukuman kartu
merah yaitu pada diri Hanif Sjahbandi, dan Asnawi Mangkualam sehingga timnas
mengalami kerugian bahkan kegagalan di SEA GAMES 2017 (hanya menempati juara 3
dari target juara 1).
Berbicara soal kartu yang baru-baru ini tengah
disorot ialah bukan kartu OK-OTRIP- nya Anies-Sandi, melainkan kartu kuning
yang dilayangkan Ketua BEM UI Zaadit Taqwa kepada Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo. Dengan beraninya Zaadit mengangkat kartu di khalayak ketika Jokowi
berpidato di acara Dies Natalies UI ke-68 tahun. Pada akhirnya ia didesak
keluar oleh aparat setempat, dan kini beritanya menjadi heboh (padahal menurut
saya itu hal yang wajar).
Kartu kuning merupakan kartu peringatan
pertama yang dilayangkan seseorang pengadil kepada pihak yang bermain. Bagi
negara demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan rakyat berhak
menjadi pengadil, sedangkan pihak yang bermain menjalankan pemerintahan ialah
para pejabat tinggi negara dan ketika pejabat negara salah, maka wajar rakyat
menegurnya, entah melalui DPR-nya atau bahkan hingga mereka turun ke jalan
(aksi demonstrasi, bahkan hingga berjilid-jilid).
Kartu kuning yang dilayangkan Zaadit kepada
Jokowi hendaknya menjadi momentum evaluasi terhadap pemerintahan Jokowi selama
4 tahun ini. Tentunya Jokowi harus mengevaluasi janji-janji manisnya yang ia
ucapkan semasa sebelum menjadi presiden. Apakah benar Jokowi sudah melunasi
janji-janjinya? Apakah benar Jokowi menjalankan
pemerintahan dengan benar? Apakah Jokowi tidak pernah berbuat salah dalam
menjalankan roda pemerintahan? Apakah ini semua kaena kesalahan Jokowi?
Bukankah merupakan kesalahan apabila seseorang berbicara ia berdusta, apabila
dipercaya ia berkhianat, apabila ia berjanji mengingkari?
Memang benar, tidak ada pemimpin yang
selalu benar. Sebab manusia tidak luput daripada kesalahan. Bahkan beruntungnya
Jokowi karena bukan hanya Jokowi yang pernah mendapatkan kartu kuning, pemimpin
sekelas Khalifah Umar bin Khattab pun juga pernah.
Kartu Kuning tentang Mahar
Seorang wanita pernah memberikan ‘kartu
kuning’ kepada Khalifah Umar di depan umum. Ia tidak segan-segan memprotes
kebijakan Amirul Mukminin yang dianggap keliru. "Wahai Amirul mukminin, apakah yang wajib kita
ikuti itu Kitab Allah ataukah ucapanmu?” seorang wanita dengan penuh keberanian
melontarkan pertanyaan kepada Khalifah Umar yang baru selesai berkhutbah.
Wanita itu menanggapi pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar.
Hal ini lantaran Umar membatasi
mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Seraya
menyatakan, “sesungguhnya kalau ada seseorang
yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang diberikan
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pastilah aku ambil kelebihannya untuk
Baitul mal.”
Muslimah pemberani itu pun kemudian mengutip ayat
Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang
kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata?” (QS: an-Nisa’ [4]:20)
Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan
tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya.
“Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.
Sedih Ketika Tidak
Dikritik
Alkisah, dalam suatu kesempatan, seorang sahabat, Khudzaifah
bin Al Yaman mendatangi Khalifah Umar bin Khattab. Ia mendapati Umar dengan
raut muka yang muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau
pikirkan wahai Amirul Mukminin?”
Jawaban Umar sama sekali tak terduga oleh Khudzaifah.
Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyaknya masalah rakyat yang
sudah pasti membuatnya letih. Kali ini Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi
dirinya sendiri. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan
kemungkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku melakukanya,
karena segan dan rasa hormatnya padaku,” ujar Umar pelan.
Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku
melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu,
Wajah Umar bin Khattab langsung berubah ceria.
Maka betapa banyak
pelajaran yang kita bisa ambil menyikapi kartu kuning yang diterima Jokowi. Ternyata
Zaadit telah mengingatkan kita akan sosok pemimpin yang luar biasa hebatnya, bahkan Michael Hart menaruh Umar bin Khattab dalam daftar 100 Tokoh
Paling Berpengaruh Sepanjang Masa.
Ya, Khalifah Umar bin
Khattab, pemimpin yang tidak antikritik, pemimpin yang mau mendengar rakyatnya,
pemimpin yang bersedia mengoreksi kebijakannya, bahkan pemimpin yang malah
galau ketika tidak ada rakyat yang berani menegur atas kesalahannya. Baginya kepemimpinan hanyalah amanah, kepemimpinan
hanyalah titipan dari Allah yang mana ia harus jaga dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya.
Umar telah mencontohkan sikap legawa pemimpin dalam
menerima kritikan dari rakyatnya. Umar jujur menerima ‘kartu kuning’ dari seorang wanita yang memprotes itu meski
di depan orang banyak, tanpa merasa gengsi bahkan pula mengoreksi kebijakannya.
Seperti perempuan pemrotes mahar, seperti Zaadit yang tanpa segan melayangkan kartu kuning di hadapan umum
mereka merasa punya tanggungjawab meluruskan ketika
pemimpinnya bersikap keliru. Dan inilah dakwah yang paling berat, menegur
penguasa yang salah.
Rasulullah SAW pernah bersabda “Jihad yang utama adalah
perkataan yang benar di hadapan penguasa zhalim.” (At-Tirmidzi dan Al-Hakim)
Terlepas aksi kartu kuning itu pesanan atau tidak, setidaknya kita patut berterima kasih kepada Saudara Zaadit atas 'gebrakannya' telah mengingatkan kita akan sosok yang senantiasa kita rindukan, Khalifah Umar bin Khattab, sehingga kami tidak gentar untuk mengkritik pemimpin yang salah arah. Karena sejatinya kita makmum yang wajib menegur imam ketika imam berbuat salah.
Berkomentarlah dengan sopan. ConversionConversion EmoticonEmoticon