Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Amirul Mu’minin, Sayyidina Umar ra
ketika menjadi khalifah muslimin, ketika itu beliau beserta rombongan
berjalan menyusuri jalan kota.
Melihat rombongan khalifah, tentu saja para penduduk yang melihat
berhenti sejenak guna membiarkan rombongan khalifah melintas lebih dulu.
Yang lain pun segera menyingkir ke pinggir jalan agar tindak menghalangi
jalan khalifah Umar.
Semua itu mereka lakukan karena hormat dan ta’dzim mereka kepada sang khalifah Umar ra.
Saat yang lain menyingkir, ada satu anak yang belum cukup besar tetap
berdiri dan enggan menyingkir ke pinggir jalan. Seakan tak peduli ada
rombongan sayyidina Umar yang mau melintas. Dia juga tak peduli teguran
warga lainnya.
Ketika melintasi anak tersebut, Sayyidina Umar menyambanginya dengan
hangat tanpa rasa marah dan bertanya: “Kenapa kau tidak menyingkir dari
jalan seperti yang lain Nak?”
Dengan sangat diplomatis dan tanpa kaku ataupun takut, si anak itu menjawab: “Kenapa aku harus menyingkir wahai khalifah?”
Sayyidina Umar pasang telinga sekali untuk perkataan si anak ini.
Kemudian ia terus teruskan: “Toh saya tidak punya salah apa pun
kepada khalifah yang membuat saya harus menyingkir dari jalan ini.”
Amirul Mu’minin beserta rombongan menyimak diplomasi si anak dengan
seksama. Lanjut ia: “Toh kalaupun saya tidak menyingkir, jalan ini masih
cukup luas untuk khalifah lewati beserta rombongan khalifah. Jadi ya
saya tidak perlu menyingkir.”
Rombongan dan juga para warga lainnya terperangah mendengar pernyataan
anak tersebut. Semua menyangka pastilah Umar marah kepada anak tersebut.
Bagaimana tidak, Umar lah khalifah yang dikenal sebagai pemimpin yang
banyak ditakuti karena keberaniannya.
Tapi reka-reka itu salah semua. Umar yang gagah dan dikenali galak itu
luntur kegagahannya dan lagsung berubah dengan senyuman lebar dari
mulutnya. Dan muncul raut gembira dari wajahnya.
Bukan ‘omelan’ yang didapat oleh anak pintar itu dari sayyidina Umar
melainkan beberapa dirham yang berpindah tempat dari kantong sang
kholifah ke kantong kecil si anak.
Melawan, berargumen, khalifah tersenyum dan memperoleh dirham. Lihat
bagaimana mulianya sikap sayyidina Umar yang sama sekali tidak otoriter
dan tidak menganggap dirinya diatas dari yang lain.
Mau dikoreksi dan tidak malu menerima kritikan dan koreksi dari orang
lain, bahkan yang lebih kecil. Begini harusnya seorang pemimpin,
merakyat dan tidak seenaknya menggunakan fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi sendiri.
Sangat jauh berbeda dengan apa yang kita lihat di negara kita ini. Para
pejabat dan pemimpin yang jauh dari sikap seorang pemimpin, bahkan sama
sekali tidak menjadi teladan. Memakai fasilitas negara seenaknya, ketika
dikritik malah balik membidik.
Diberi saran malah tak mau mendengarkan. Ketika diketahui melanggar hukum malah berkilah dibalik senyum.
Sudah banyak yang kita dengar dari media atau bahkan kita melihat
sendiri bagaimana perlakuan para petinggi negeri ini yang sama sekali
jauh dari nilai positif. Seenaknya memnggunakan jebatan dan kekuasaaan
tanpa mau diberikan saran.
Ada pejabat yang seenaknya ganti nomor plat mobil dan tak diberi
hukuman. Ada yang jadi jagoan di jalan. Kasar kepada petugas bandara
hanya tidak diperlakukan spesial. Memakai foreder di jalan tanpa peduli
ada warga yang sedang tersiksa karena rombongan memangkas jalan.
Ya jadi bagaimana negeri ini berkembang kalau banyak di pimpin oleh pejabat-pejabat yang tak mau menerima kebaikan?
Berkomentarlah dengan sopan. ConversionConversion EmoticonEmoticon